Seperti banyak jamaah haji lainnya, Emak adalah satu dari ratusan ribu bahkan jutaan orang yang pergi berhaji dengan keringat dan air mata. Bergantung dengan keahliannya sebagai tukang urut, sembari mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk berhaji, Emak juga harus membiayai hidup dan sekolah dua cucunya yang yatim.
Ibu Dayu Taryu, Nenek Tukang Urut Yang Berhaji |
"Dapat uang rezeki habis urut. Rezeki sedikit-sedikit dikumpulin, buat sekolahin cucu. udah enggak punya anak. Anaknya 2 udah enggak ada.. Jadi sama cucu sekarang sendiri. Buat sekolahin cucu," tuturnya beberapa waktu lalu.
Mulai pagi Emak keliling kampungnya di daerah Subang, menawarkan jasa urut ke orang-orang. Kalau memungkinkan, Emak kembali ke rumahnya untuk memasak buat cucunya. Namun bila masih ada order urut, Emak memilih untuk beli nasi di jalan.
Ada 5 kali, 3 kali urut dalam sehari. Namanya rezeki ntar ada, ntar enggak ada. Alhamdulillah. Panggilan tengah malam tetap berangkat. Bayar seikhlasnya. Ada yang ngasih Rp 10 ribu alhamdulillah, ada yang Rp 20 ribu alhamdulillah ada yang Rp 50 ribu wih apalagi ya kan gede ntar beli nasi goreng buat cucu," ujarnya.
Uang hasil urut disisihkan oleh Emak, ditabung sedikit demi sedikit di bawah keset depan kamarnya. Saat panggilan berhaji tiba, Emak pun membongkar tabungannya yang ada di bawah keset. Setelah dihitung-hitung total uang tunai yang dimilikinya berjumlah Rp 10 juta.
Emak mulai menabung sejak tahun 2000, salah satu pecahan uang kertas yang ditabungnya masih bergambar Presiden Soeharto. Pecahan Rp 50 ribu itu ditarik dari peredaran pada tahun 2010, beruntung bank masih bisa menerima pecahan itu saat Emak menyetorkan biaya haji.
"Nabung dari tahun 2000. Salat tahajud. Ngaji tiap maghrib doa. Uang darimana. Saya teh pengen banget naik haji ya Allah," kata Nenek dari Subang ini.
Hati Emak sempat ciut saat mendengar omongan tetangganya kalau biaya haji mencapai Rp 60 juta. Namun hatinya berubah suka cita saat tahu biaya perjalan ibadah haji (BPIH) hanya Rp 31 juta. Bergegaslah Emak ke bank menyetorkan uang tabungan Rp 10 juta miliknya.
Emak bingung saat petugas dari bank mengatakan setoran hanya Rp 5 juta saja, sisanya diputar untuk modal usaha lainnya. Setelah paham maksudnya, Emak lalu menggunakan uang itu untuk menyewa lahan dan bertani.
Dari hasil tani itulah Emak bisa melunasi BPIH. Dengan segala keterbatasannya, Emak habis-habisan menguras hartanya supaya bisa ke Tanah Suci. Emak yakin rezeki sudah ada Allah yang mengaturnya, tidak bakal tertukar.
"Orang-orang pada ngomong, enggak punya sawah enggak punya apa-apa kok naik haji. Ntar pulang haji mau makan apa?" tutur Emak menirukan omongan orang-orang.
"Insya Allah saya biarin ngurut lagi nggak apa-apa. Biarin meski sudah haji nggak gengsi saya mah. Rela gitu. Cucunya, udah biarin aja nek saya mah ntar juga mandiri kalo udah gede mau kerja gitu," kata Emak membalas pertanyaan itu
Suara Emak selalu terdengar bergetar, matanya berlinang setiap dia bercerita tentang cucu-cucunya. Tidak banyak permohonan Emak di depan Kakbah selain keselamatan dunia akhirat dan kebaikan pada tiga orang cucunya.
"Alhamdulillah itu ya Allah di sini teh ngedoa ngedoain cucu pertama baik banget. Jadi nangis-nangis kemarin di Makkah. Nangis aja. Doanya ya Allah moga-moga cucu saya teh jadi anak yang baik yang pintar dan soleh solehah ya Allah. Gitu aja," ujar Emak sambil menyeka sudut matanya.
Keyakinan Emak soal rezeki orang sudah ada jatahnya masing-masing terbayar lunas dalam perjalanannya berhaji. Saat hendak berangkat, banyak tetangga memberinya uang saku mulai dari Rp 100 ribu sampai Rp 1 juta. Bahkan saat di Makkah pun rezeki Emak tetap mengalir.
"Dapat orang berapa mah ada yang ngasih Rp 50 ribu, ada yang Rp 40 ribu, ada yang Rp 30 ribu, ada yang Rp 15 ribu kemarin teh. Urut di sini teh di Makkah," ujarnya.
Azan Ashar sudah berkumandang saat wawancara dengan Emak berakhir. Emak lalu memohon izin untuk menunaikan Ashar berjamaah di hotel tempatnya menginap.
Selamat berhaji Emak. Semoga kelak menjadi haji yang mabrur.... Amiin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar