Senin, 21 September 2015

Salah Kaprah Dalam Memahami Arti Sunnah

Arti Sunnah
Arti Sunnah

Kita sering mendengar orang mengatakan "Itu sunnah Nabi", "itukan hanya ibadah sunnat", dst... lalu apakah arti kata sunnah itu? apakah jika dikerjakan berpahala dan jika ditinggalkan tidak mengapa? ataukah ada makna yang lain bagi sunnah?

Sudah hal yang masyhur bahwa manusia adalah musuh bagi sesuatu yang tidak ia ketahui. Begitulah makna sebuah pepatah Arab. Dan seperti juga yang menimpa sebagian orang dalam memaknai arti kata sunnah. Mereka cenderung salah kaprah dalam memahami arti sebuah kata. seperti halnya memaknai sunnah sebagai suatu amalan yang apabila dilakukan memperoleh pahala, dan jika ditinggalkan maka tidaklah mengapa. Pemahaman seperti ini meskipun lahir dari sebagian definisi yang berkembang dalam diskursus fikih, namun apakah sunnah hanya dimaknai sesempit itu? Terkadang pemahaman saklek seperti ini dapat menggiring seseorang malas untuk mengerjakan suatu amalan yang berpahala besar, bahkan wajib, hanya dengan berasumsi ditinggalkan tidaklah berkonsekuensi apa-apa.


Maka dari itu, penting kiranya kita untuk mengetahui apa sebenarnya arti dan definisi sunnah menurut berbagai segi dan sudut, serta meluruskan salah kaprah yang telah mengakar dalam benak sebagian orang.


Makna Sunnah Secara Bahasa

Jika dipandang dari sudut etimologi atau bahasa, sunnah berarti metode atau jalan. Hal ini dapat disimpulkan dari hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi,

مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ

“Barang siapa yang mencontohkan jalan yang baik di dalam Islam, maka ia akan mendapat pahala dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barang siapa yang mencontohkan jalan yang jelek, maka ia akan mendapat dosa dan dosa orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (HR. Muslim: 2398)

Hadits di atas bermuara dari datangnya suku Mudhar ke kota Madinah dalam keadaan miskin. Kondisi mereka membuat hati Rasulullah terenyuh. Selepas itu, Rasulullah pun berkhutbah. Mendengar khutbah tersebut, seorang sahabat serta merta menyedekahkan hartanya, pakaiannya, gandum, dan kurma. Lantas akhirnya sahabat yang lain berbondong-bondong turut menyedekahkan apa yang mereka punya, mengikuti sahabat yang bersedekah kali pertama. Maka Rasulullah pun menyebutkan hadis di atas.

Dari penjelasan ini dapat kita tarik benang merah bahwa menurut bahasa sunnah berarti metode atau jalan, yang mencakup makna konotasi positif maupun negatif.

Makna lain dari sunnah secara bahasa adalah kebiasaan, syariat, contoh terdahulu, dan adat.

Makna Sunnah Dari Sudut Pandang Ahli Fikih

Adapun jika dilihat dari sudut terminologi atau secara istilah, maka makna sunnah sangat beragam tergantung konteks kata sunnah itu sendiri. Hal inilah yang kerap kali mengharuskan kita untuk lebih hati-hati dan tidak tergesa-gesa dalam mencerna kata sunnah yang terdapat dalam sebuah pernyataan. Karena pengertian yang banyak ini pulalah, kita harus pandai menempatkannya ke dalam makna yang tepat dan dibenarkan oleh syariat.

Kita mulai dari definisi yang familiar di kalangan mayoritas manusia, yaitu definisi menurut para fukaha (ulama pakar dalam disiplin ilmu fikih). Menurut mereka, sunnah adalah suatu amal yang dianjurkan oleh syariat namun tidak mencapai derajat wajib atau harus.

Dalam versi lain, dan inilah yang masyhur, sunnah adalah segala perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan maka tidak berdosa. Makna ini memiliki beberapa kata yang serupa yaitu mustahab (dianjurkan) ataupun mandub, salah satu tingkatan hukum-hukum syariat yang lima: wajib, haram, makruh, mubah, dan sunnah.

Ini termasuk makna sunnah yang cukup sempit. Dalam artian, definisi ini hanya mencakup amal yang dihukumi sebagai mustahab. sunnah dalam makna ini terbagi menjadi dua: sunnah muakadah (dikuatkan atau sangat dianjurkan) dan sunnah yang tidak muakadah. Contoh jenis pertama seperti puasa senin-kamis, salat rawatib, dan lain sebagainya. Sedangkan sunnah untuk jenis kedua seperti salat dua rakaat sebelum salat Magrib.

Akan tetapi, perlu diketahui, bahwa tidak diperkenankan bagi kita untuk menafsirkan kalimat sunnah di dalam hadis Rasulullah, perkataan sahabat, tabiin, atau imam-imam besar dengan makna mustahab. Karena sejatinya sunnah itu lebih umum dari penamaan ini. sunnah terkadang meliputi mustahab, dan terkadang wajib, bahkan hal-hal yang jika diingkari menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam kekufuran. Oleh karena itu, sebagian ulama salaf abad ketiga yang menulis kitab-kitab mereka dengan judul As-Sunnah mencakup pembahasan akidah yang wajib diyakini dan mengingkarinya adalah kekufuran. Seperti kitab As-Sunnah karya Imam Ibnu Abi Ashim, Imam Ahmad, Imam Al-Marwazi, dan selain mereka.

Karenanya, tidak selayaknya kita menggiring kata sunnah yang terdapat pada ucapan sahabat, tabiin, atau imam-imam besar lainnya dengan makna mustahab semata secara mutlak.

Makna Sunnah Dari Sudut Pandang Ahli Hadits

Para muhadditsun (ulama pakar hadis) mendefinisikan sunnah sebagai segala hal yang disandarkan kepada Nabi, baik itu berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan), maupun sifat perangai atau sifat fisik. Baik sebelum diutus menjadi nabi ataupun setelahnya.

sunnah dalam versi ini memiliki makna yang lebih luas. Ia tidak hanya menghimpun amal ibadah yang hukumnya sunnah, akan tetapi juga hal-hal yang dihukumi wajib oleh ulama ahli fikih. Oleh sebab itu, jika mendengar suatu pernyataan ini adalah sunnah atau disunnahkan, tidak berarti hukumnya sunnah. Bisa jadi wajib, karena yang dimaksud sunnah tersebut adalah sunnah menurut ulama ahli hadis.

Dari definisi sunnah yang telah dijelaskan, terdapat beberapa bentuk sunnah yang dapat dikategorikan sebagai berikut:

sunnah qauliyyah atau sunnah yang berupa perkataan adalah hadis yang memuat ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Salah satu contohnya ialah hadits yang diriwayatkan Umar bin Khathtab radhiyallahu ‘anhu. Dia menceritakan bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya dan setiap orang akan memperoleh sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)

Adapun sunnah fi’liyyah atau sunnah yang berupa perbuatan yaitu seorang sahabat menukilkan kepada kita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berbuat seperti ini dan seperti itu, meninggalkan ini dan itu, sebagaimana perkataan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ الدُّبَّاءَ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyukai labu.” (HR. Tirmidzi, dalam Asy-Syama-il no. 161, Ad-Darimi 2/101, dan Ahmad no. 2/174)

Hal ini merupakan sunnah yang berwujud perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Di antara sunnah fi’liyyah lainnya adalah apa yang bersumber dari Rasulullah berupa perbuatannya yang menjelaskan tentang salat, zakat, puasa, haji, dan selainnya. Hal ini pun termasuk sunnah fi’liyyah.

Adapun sunnah taqririyyah adalah ketika seseorang sahabat misalnya menceritakan atau mengerjakan suatu perbuatan di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, atau pada masa beliau saat wahyu masih turun, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau wahyu menetapkannya, tanpa diingkari maupun diubah. Inilah taqrir menurut syariat di untuk suatu perbuatan.

Adapun sifat khuluqiyyah adalah sesuatu yang disampaikan para sahabat berkaitan dengan bagaimana akhlak, perilaku, dan perangai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana di saat Aisyah radhiyallahu ‘anha ditanya ihwal akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pun menjawab,

فَإِنَّ خُلُقَ نَبِىِّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ الْقُرْآنَ

“Akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Alquran.” (HR. Muslim, no. 1773)

Sedangkan sifat khalqiyyah ia adalah sesuatu yang disampaikan oleh para sahabat berkenaan dengan sifat fisik Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Seperti yang disebutkan dalam beberapa hadis bahwa Rasulullah itu berbadan sedang, tidak tinggi dan tidak pula pendek. Diceritakan pula bahwa wajah beliau putih, bak rembulan. Juga dikabarkan bahwa Rasulullah seperti ini dan seperti itu, sebagaimana yang diriwayatkan tentang sifat fisik beliau.

Makna Sunnah Dari Sudut Pandang Ahli Ushul Fiqih

Para ulama usul fiqh mengungkapkan pengertian sunnah berupa sumber hukum pensyariatan Islam setelah Alquran. Atau bisa diartikan sebagai segala hal yang disandarkan kepada Nabi berupa perkataan, perbuatan, dan taqrir atau ketetapan. Hal itu dikarenakan ulama usul hanya melihat sunnah dari sisi pendalilan. Dan dalil itu hanyalah mencakup perkataan, perbuatan, dan ketetapan.

Adapun yang berupa sifat fisik maupun akhlak, maka itu tidak termasuk sunnah. Begitu pula yang terjadi sebelum diutusnya beliau menjadi Nabi, atau yang berasal dari para Nabi sebelumnya, maupun generasi setelahnya, yaitu sahabat, tabiin, dan selainnya, maka hal itu pun bukan termasuk sunnah dalam pandangan disiplin ilmu mereka.

Makna Sunnah Dari Sudut Pandang Ulama Aqidah

Menurut ulama akidah, sunnah adalah antonim atau lawan kata dari bidah. Jadi, setiap amal perbuatan yang ada contoh dan tuntunannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan perkara yang diada-adakan dalam agama, maka ini masuk dalam kategori sunnah.

Atau dalam arti lain, sunnah bukan hanya sesuatu yang dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi sunnah juga merupakan segala hal yang dijelaskan oleh Al Qur’an, sunnah, kaidah syar’iyyah, atau yang semisalnya. Makna sunnah ini otomatis menggambarkan agama Islam secara keseluruhan.

Hadis yang memuat pengertian ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة

“Maka dari itu, wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafa rasyidin. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian! Dan berhati-hatilah terhadap perkara baru yang diada-adakan dalam agama. Karena setiap perkara yang baru dalam agama itu adalah bidah dan setiap bidah itu sesat.” (HR. Abu Dawud, no. 4607, dan Tirmidzi, no. 2677)

Dengan mengetahui makna-makna sunnah di atas, semoga hati kita semakin lapang dalam memahami suatu permasalahan. Janganlah menyempitkan sesuatu yang sejatinya luas. Ketika mendengar kata sunnah, maka sudah selayaknya kita tidak mencukupkan diri dengan memaknainya sebagai mustahab atau yang dianjurkan. Sebaliknya, kita pun harus pandai memilah kata yang tepat jika hendak menyampaikan suatu hal. Misalkan merinci makna sunnah yang dimaksud, dengan mengucapkan, “Perbuatan ini adalah sunnah Nabi yang hukumnya wajib.” Atau bisa pula dengan mengatakan, “Amal ini hukumnya sunnah alias mustahab.”

Semoga tulisan singkat ini bisa meluruskan kesalah pahaman kita dalam memaknai kata sunnah dan memotivasi kita untuk terus menuntut ilmu karena ilmu agama ini begitu luas. Wallahu A'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages

Recent news